1.12.08

Pak Kyai dan Burung Beo

Baru saja kami selesai shalat Ashar. Atasan kami telah merencanakan untuk mengadakan kegiatan kultum (kuliah tujuh menit) setiap hari Senin. Ini adalah hari pertama yang diawali oleh beliau. Ane mendapat cerita yang sangat menyentuh, bagini ceritanya.

.....di suatu desa, ada seorang kyai dan beberapa santrinya. Kyai tersebut mempunyai peliharaan seekor burung beo yang pandai. Burung tersebut telah mampu mengucapkan kalimah thoyibah yang pak Kyai ajarkan, seperti takbir, tahlil dan tahmid.

Pak Kyai ini sangat menyayangi burung beonya, setiap hari beliau merawatnya dan memberi makan yang enak-enak. Hingga pada suatu ketika beliau lupa mengunci pintu sangkar burung tersebut dan masuklah tikus buas yang dengan sigap langsung menyergap sang beo.

Pak Kyai melihat kejadian tersebut, dilihatnya burung beo itu mengerang-ngerang kesakitan. "wak..wak..wakk" begitulah suara burung itu mengerang sebelum akhirnya mengejang dan mati.


Setelah kejadian itu Pak Kyai selalu murung. Dan sudah dua minggu berlalu tetapi Pak Kyai masih murung juga. Hal ini tentu saja dirasakan oleh para santrinya. Akhirnya mereka berkumpul dan membahas apa masalah yang di hadapi oleh Pak Kyai.

Salah seorang santri mengajukan usul untuk membelikan burung beo yang baru. Ia yakin Pak Kyai murung karena kematian burung beo yang pandai mengucapkan kalimah thoyibah itu. Mereka pun sepakat. Selama sebulan mereka melatih burung beo tersebut agar dapat mengucapkan kalimah thoyibah dan bahkan mampu melafalkan surat-surat pendek. Suatu hari setelah siap, mereka pun bersama-sama datang ke rumah Pak Kyai.

Di rumahnya tentu saja Pak Kyai terkejut, karena para santrinya datang tanpa pemberitahuan terlebih dahulu. Lebih lebih mereka membawa burung beo.

"Para santri yang budiman, mengapa kalian datang kemari dengan tiba-tiba? Apakah ada keperluan yang mendesak?" tanya Pak Kyai

"Tidak Pak Kyai, kami kesini hanya ingin menghibur Pak Kyai agar tidak murung lagi. Kami sengaja membawakan burung beo yang baru. Yang ini lebih pandai, tidak hanya pandai mengucapkan kalimah thoyibah namun sudah bisa melafalkan surat pendek." Kata salah seorang santri

Pak Kyai tersenyum mendengar penuturan santrinya dan menjawab, "Santri-santriku yang budiman, sungguh saya murung bukan karena kematian burung beo, tapi saya murung karena melihat proses kematian burung beo itu. Tidakkah menyedihkan ketika burung itu mati, ia hanya mengerang kesakitan dan tak ada satupun kalimah thoyibah yang saya ajarkan keluar diucapkan burung itu. Saya sangat khawatir dan takut jika peristiwa ini menimpa saya dan santri-santri sekalian. Bagaimanakah jika kematian menjemput saya atau kalian, akankah kita mampu mengucapkan kalimah thoyibah yang bisa menjadi syafaat bagi kita? bagaimanakah jika nanti kita hanya bisa mengerang seperti burung beo itu? Itulah yang selama ini membuat saya murung"

Para santri pun terdiam.............

Sungguh ini adalah sepenggal kisah yang patut kita ambil pelajaran, untuk selalu mengingat mati yang akan menjemput kita tanpa pandang bulu, tanpa pemberitahuan. Apa saja bekal yang telah kita siapkan untuk menyongsong malakul maut?

1 comment :

admin said...

salam... lama tidak jalan2 sore nih tapi...hemmm, jika lisan terbiasa mengucap kalimat thoyibah, ketika tidak sadarpun (yang keluarpun juga kalimat thoyyibah. pun sebaliknya.
ane juga teringat dengan kajian yang saya ikuti disuatu sore disebuah masjid dekat tanggul lumpur lapindo. Ustad abdurrokhim nur menjelaskan bahwasannya takdir itu tidak seperti jalan tol yang luuurrruussss tanpa cabang... dan diakhir kajian beliau menyimpulkan, akhir hidup seseorang ditentukan oleh masing-masing.

dan pada akhirnya....
Ya Rabb, sesungguhnya dalam hati ini ada keresahan dan kegelisahan, maka keluarkanlah sebelum habis kesabarannya...

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...